“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr 18)
Ayat ini
mengajak kita untuk senantiasa mengingat dan meneliti kembali bekal yang kita
persiapkan untuk kehidupan setelah kematian. Faedah besar akan kita dapatkan
jika kita melihat sisi kurang perbekalan yang mesti kita siapkan. Karena ini
akan memacu kita untuk menutup kekurangan dan memperbanyak amal ketaatan. Tapi
jika kita ujub, merasa telah mencapai derajat tertentu dalam keimanan, merasa
telah memiliki bsnyak tabungan kebaikan, maka hal ini akan membuat kita
terpedaya.
Tiga Cara
Mengusir Ujub
Imam Syafi’i
memberikan tips kepada kita supaya tidak lekas berbangga dengan amal yang
berhasil kita tunaikan, atau dosa yang mampu kita tinggalkan.
Beliau berkata,
“Jika kamu khawatir terjangkiti ujub, maka ingatlah tiga hal; ridha siapa yang
kamu cari, kenikmatan manakah yang kamu cari, dan dari bahaya manakah kamu
hendak lari. Maka barangsiapa merenungkan tiga hal tersebut, niscaya dia akan
memandang remeh apa yang telah dicapainya.”
Alangkah
dalamnya nasihat beliau. Mari kita jawab tiga pertanyaan tersebut, lalu kita
selami kedalaman makna dari nasihat tersebut.
Pertama,
ridha siapa yang kamu cari? Jawaban idealnya tentu ridha Allah yang kita cari.
Tapi bagaimana dengan aplikasinya? Kita tengok apa yang kita lakukan
setiap hari, adakah setiap langkah, gerak-gerik kita, diam dan bicara kita,
terpejam dan terjaganya mata kita selalu demi meraih ridha-Nya? Bahkan
kegigihan dan pengorbanan manusia untuk mendapatkan ridha atasan, kekasih, atau
untuk mendapat kewibawaan di kalangan masyarakat seringkali lebih hebat dari
usaha dia untuk menggapai ridha Allah.
Kedua,
Kenikmatan manakah yang kamu cari? Tentu kita akan menjawab, “kenikmatan
jannah.” Sebagaimana doa yang selalu kita panjatkan, “Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu jannah.” (HR Abu Dawud)
Tapi,
sudahkah layak usaha yang kita lakukan sehari-hari itu diganjar dengan pahala
jannah yang identik dengan kenikmatan tiada tara dan tak ada sesuatupun yang
identik dengan kesengsaraan dan penderitaan? Berapa kalkulasi waktu yang kita pergunakan
untuk beribadah kepada Allah, lalu bandingkan dengan keinginan kita untuk
mendapatkan kenikmatan jannah.
Banyak orang
rela bekerja sehari 8 jam, untuk mendapatkan rumah mewah sepuluh atau belasan
tahun kemudian. Tapi, adakah rumah itu lebih mewah dari rumah dijannah yang
digambarkan oleh Nabi, “batu-batanya dari emas dan batu-bata dari perak?”
Manakah yang lebih luas, rumah dambaannya, ataukah rumah di jannah yang
disebutkan Nabi saw, “Panjangnya sejauh
60 mil.” (HR Muslim)
Maka
pikirkanlah, berapa waktu yang mesti kita pergunakan setiap harinya, agar kita
mendapatkan rumah sebesar dan seindah itu? Barangsiapa merenungkan hal ini,
niscaya akan menganggap bahwa amalnya belum seberapa. Belum sepadan antara
usaha yang dia lakukan dengan ‘hadiah’ yang dijanjikan oleh Allah bagi orang
mukmin di jannah.
Ketiga, dari
bahaya manakah kita hendak lari? Tentu kita akan menjawab, “Dari siksa api
neraka”, sebagaimana hal ini juga menjadi permohonan yang senantiasa kita
panjatkan kepada Allah, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
neraka.” (HR Abu Dawud)
Masalahnya,
adakah perbuatan yang kita lakukan setiap harinya sudah mencerminkan kondisi
orang yang menghindar dari bahaya neraka yang amat dahsyat? Ataukah keadaan
kita seperti yang digambarkan oleh seorang ulama salaf ketika memperhatikan
banyak orang terlelap di waktu malam tanpa shalat, “Aku heran dengan jannah,
bagaimana manusia bisa tidur lelap sedangkan katanya ia sedang memburunya. Dan
aku heran terhadap neraka, bagaimana bisa manusia tidur nyenyak, sementara ia
mengaku tengah lari dari bahayanya?”
Mungkin kita
pernah melihat orang yang takut ditimpa suatu penyakit, takut ditangkap aparat,
takut di PHK dari suatu perusahaan, takut dirampok dan lain-lain. Merekapun
bertindak ekstra hati-hati dan waspada terhadap segala kemungkinan yang
terjadi. Padahal itu semua bukan apa-apanya bila dibandingkan dengan ancaman
neraka. Tapi adakah kita yang mengaku takut neraka lebih takut dan waspada dari
keadaan mereka?
Tidak
diragukan lagi, jika kita memikirkan ketiga perkara di atas, kita akan merasa,
betapa amal kita masih jauh dari sempurna, masih jauh dari yang semestinya.
Sehingga kita tak layak untuk ujub dan berbangga. Selayaknya kita menghitung
kembali perbekalan kita, meneliti agar tak satupun tercecer, dan kita memilah
dan memilih, mana yang harus dibawa, dan mana pula yang harus ditinggal.
Jangan
Keliru Membawa Bekal
Semangat
untuk beramal adalah baik. Namun setiap amal harus didahului dengan ilmu yang
benar. Jika tidak, bisa jadi bekal yang dibawa keliru. Ibarat seorang musafir
yang membawa onggokan kerikil dalam perjalanan, disangkanya itu bekal yang
membantunya dalam perjalanannya, tidak tahunya justru menjadi beban yang
memberatkan perjalanannya. Ini perumpamaan bagi orang yang beramal tanpa
dilandasi ilmu yang benar, sehingga ia terjerumus kepada bid’ah yang tidak
dicontohkan oleh Nabi maupun diajarkan oleh syariat. Allah mengabarkan nasib
tragis di akhirat yang dialami oleh orang yang keliru membawa bekal, “Katakanlah:”Apakah
akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al
Kahfi :104)
Ibnu Qayyim
al-Jauziyah dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini, “Ini adalah kondisi orang
memiliki banyak amal, akan tetapi dia lakukan bukan untuk Allah atau tidak
mengikuti sunnah Rasulullah saw.”
Kita
berlindung kepada Allah dari kesesatan tujuan dan tindakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar