Upacara
Rebo Wekasan merupakan upacara adat yang terdapat di Desa Wonokromo, Kecamatan.
Plered, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Dengan ibukota propinsi, desa tersebut
berjarak 10 km kearah Selatan. Desa ini dibagi menjadi 12 dusun, yaitu Dusun
Wonokromo I, Wonokromo II, Karanganom, Ketanggajati, Sarean, Jejeran I, Jejeran
II, Brajan, Pandes I, Pandes II, dan Demangan Kapen.
Desa
Wonokromo mempunyai wilayah seluas 21,34 km2 dengan penduduk berjumlah 9.150 juta
dan Kepala Keluarganya ada 2.367. Dengan melihat data tersebut berarti
kepadatan penduduk rata-rata 2.108 juta jiwa/km2 dan jumlah rata-rata 3,87
jiwa/KK, dan jumlah penduduk sebesar 9.150 jiwa, sebagian besar beragama Islam
dan yang sebagian kecil ada yang beragama Katholik, Kristen, Hindu, dan Budha.
Mengenai fasilitas ibadah dapat dikatakan hampir setiap RW memiliki masjid atau
langgar dan di wilayah ini terkenal dengan daerah santri. Menurut Dewanto (1996
: 28), 75 % dan penduduk Wonokromo mempunyai mata pencaharian sebagai petani,
15 % pedagang, dan selebihnya ada yang menjadi PNS, ABRI, dan lain-lain,
tukang, swasta.
Mengenai
Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan ini akan dibahas tentang nama upacara,
tujuan upacara, cerita/mitos upacara, komponen upacara, dan sesaji/peralatan
upacara.
a) Nama Upacara
Upacara yang ada di Wonokromo ini
disebut Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan. Disebut Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan
karena upacara ini diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Sapar. Kata
Sapar ini identik dengan ucapan kata arab syafar yang berarti bulan Arab yang
kedua. Selanjutaya kata syafar yang identik dengan kata sapar ini menjadi salah
sebuah nama bulan Jawa yang kedua dan jumlah bulan yang 12 itu (Tashadi dkk,
1992/1993).
Dalam upacara ini sebagai puncak acaranya
adalah Selasa malam atau malem Rebo. Dahulu upacara ini dipusatkan di depan
masjid dan biasanya seminggu sebelum puncak acara sudah diadakan keramaian, yaitu
pasar malam. Upacara ini dipilih hari Rabu, konon hari Rabu terakhir dalam bulan
Sapar itu merupakan hari perternuan antara Sri Sultan HB I dengan mBah Kyai Faqih
Usman. Berdasarkan pada hari itulah kemudian masyarakat menamakannya dengan
Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan.
b) Tujuan
Upacara
Maksud dan tujuan penyelenggaraan
Upacara Rebo Wekasan adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, serta seorang kyai pertama di Wonokromo – Kyai Faqih Usman atau Kyai
Welit - yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah
untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.
c) Cerita/Mitos
Upacara
Mitos tentang Upacara Rebo Wekasan
ada beberapa versi. Narnun inti dan upacara tersebut ada kesamaan, yakni tentang
kyai yang tinggal di Desa Wonokromo dan mempunyai kelebihan mampu menyembuhkan
berbagai macam penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha dan
tujuan-tujuan tertentu seperti membuat tolak bala dan sebagainya. Untuk lebih
jelasnya akan diuraikan di bawah ini :
Versi
I
Rebo
Wekasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih tetap
dilestarikan. Pada jaman itu hidup seorang kyai yang bemama mBah Faqih Usman.
Tokoh kyai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau
Kyai Welit. Pada masa itu hidupnya mempunyai kelebihan ilmu yang sangat baik di
bidang agama maupun bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit.
Pada
waktu itu masyarakat Wonokromo meyakini babwa mBah Kyai mampu mengobati
penyakit dan metode yang digunakan atau dipraktekkan mBah Kyai dalam pengobatan
adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat AI-Qur'an pada segelas
air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya dapat sembuh.
Seperti
telah dirnuat dalam SKH KR 1983, bahwa pada saat itu di daerah Wonokromo dan
sekitamya sedang terjadi pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang.
Tak heran jika kemudian masyarakat berbondong-bondong kepada mBah Kyai untuk
meminta obat dan meminta berkah keselamatan. Ketenaran mBah Kyai semakin
tersebar sampai ke pelosok daerah, sehingga yang datang berobatpun semakin
bertambah banyak, maka di sekitar masjid lalu dipadati para pedagang yang ingin
mengais reJeki dan para tamu. Suasana seperti itu dapat mengganggu akan
keagungan masjid dan sangat merepotkan jamaah yang akan memasuki masjid untuk
sholat. Pada suatu saat mBah Kyai menemukan cara paling efektif untuk
memberikan pengobatan dan berkah keselamatan kepada umatnya, yakni menyuwuk
telaga di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada di sebelah Timur
kampung Wonokromo atau tepatnya di depan masjid.
Berkat
ketenaran mBah Kyai Faqih, maka lama kelamaan sampai terdengar oleh :
Sri Sultan HB 1. Untuk membuktikan berita tersebut kemudian mengutus empat
orang prajuritnya supaya membawa mBah Kyai Faqih menghadap ke kraton dan memperagakan
ilmunya itu. Temyata ilmu mBah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I
karena memang setelah masyarakat yang sakit itu diobati dan sembuh.
Sepeninggal
mBah Kyai, lalu masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan
Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah
ketenteraman, sehingga setiap hari Rabu Wekasan masyarakat berbondong- bondong
untuk mencari berkah. Dengan mandi di pertempuran itu dimaksudkan manusia
bersuci atau selalu "wisuh" untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang
melekat di dalam tubuh. Namun masyarakat mengartikan lain, bahwa
"wisuh" atau mandi tadi diartikan lain, yakni mandi " dengan
"misuh" - berkata kotor. Menurut narasumber bahwa hal tersebut merupakan
kepercayaan orang-orang yang datang dari luar daerah , sebab
masyarakat Wonokromo sendiri tidak menggangap seperti itu, karena orang –
orangnya beragama Islam yang kuat beragama dan menghindari syirik
Versi
II
Upacara rebo wekasan ini tidak terlepas dari Kraton Mataram dengan Sultan Agung
yang dulu pernah berkraton di Plered. Dalam buku Dewanto , disebutkan bahwa
upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600 . Pada masa
pemerintahannya Mataram terjangkiti wabah penyakit atau pagebluk. Melihat
penderitaan rakyatnya, Sultan Agung sangat prihatin yang kemudian Dia bersemedi
di sebuah masjid di desa Kerta.
Setelah
melakukan semedi, kemudian Sultan menerima wangsit atau ilham, bahwa wabah
penyakit tersebut bias hilang dengan syarat mempunyai tolak bala. Dengan adanya
wangsit tersebut, kemudian Sultan Agung memanggil Kyai Sidik yang bertempat
tinggal di Desa Wonokromo untuk melaksanakan pembuatan tolak bala tersebut.
Setelah itu Kayai Sidik atau dikenal dengan nama Kyai Welit karena sudah
mendengar keampuhannya itu. Setelah itu Kyai Welit melaksanakan dawuh untuk
membuat tolak bala yang berwujud rajah dengan tulisan arab Bismillahi Rahmanir
Rakhim sebanyak 124 baris.
Setelah
tulisan yang berwujud rajah itu selesai kemudian dibungkus ndengan kain mori
putih. Selanjutnya rajah tersebut diserahkan kepada Sultan Agung serta memohon
supaya rajah tersebut dimasukkan kedalam air. Oleh Sultan Agung ajmat yang
berupa rajah itu dimasukkan ke dalam bokor kencana yang sudah berisi air. Air
ajimat itu kemudian diminumkan kepada orang sakit dan menyembuhkan. Mulai saat
itu kabarnya tersebar sampai desa – desa dan menyebabkan orang sakit lalu
berbondong bondong dating untk mendapatkan air dari ajimat tersebut.
Dengan
banyak peduduk yang berdatangn untuk minta air ajimat, dikuatrikan air tersebut
tidak mencukupi. Akhirnya Sultan Agung memerintahkan kepada Kyai sidik agar air
ajimat yang masih tersisa dalam bokor kencana tadai dituangkan di tempuran kali
Opak dan Gajah wong, dengan maksud supaya siapa saja yang membutuhkan cukup
mandi di tempat tersebut. Berita itu cepat menyebar dan akhirnya masyarakat
banyak yang mandi atau sekedar mencuci muka tempuran tersebut dengan harapan
segala permasalahnnay dapat teratasi.
Versi
III
Seperti yang telah diceritakan oleh narasumber (Woehid), cerita tentang Rebo
Wekasan itu adalah sebagai berikut. Bagi masyarakat, yang namanya bulan Sura dan
Sapar itu merupakan bulan tersebut sering terjadi mala petaka atau bahaya. Untuk itu masyarakat berusaha untuk menolaknya, supaya pada bulan-bulan tersebut tidak terjadi apa-apa. Adapun caranya adalah memohon kepada orang atau kyai yang dianggap lebih pintar atau mumpuni.
Pada
waktu itu orang yang dianggap pintar adalah Kyai Muhammad Faqih dari Desa
Wonokromo. Kyai Faqih ini juga disebut Kyai Welit, karena pekerjaannya adalah
membuat welit atau atap dari rumbia. Mereka ini mendatangi Kyai Welit supaya membuatkan
tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab. Rajah ini
kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi
dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat.
Lama-kelamaan
orang yang datang minta wifik atau rajah itu sangat banyak, sehingga Kyai Welit
sangat repot. Akhirnya Kyai Welit menemukan cara baru, yaitu wifik atau rajah
yang dipasang di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong. Dengan cara ini orang
tidak perlu mendatangi Kyai Welit dan mereka cukup mengambil air atau mandi di
tempuran untuk mendapatkan berkah keselamatan sebagai sarana tolak bala. Konon
di sungai tempuran itu setiap Rebo Wekasan bulan Sapar, yaitu pada-malam hari
Selasa malam dipakai tempat penyeberangan orang-orang yang akan menuju ke
Gunung Permoni yang terletak di Desa Karangwuni, Desa Trimulya. Saat mereka
menyeberang sungai memang ada yang melontarkan kata-kata umpatan atau kurang
pantas. Apalagi yang menyeberang adalah wanita dengan sendirinya harus cincing
atau mengangkat rok/kain supaya tidak basah. Dan situlah yang kemudian orang
mengatakan kata-kata yang kurang pantas.
Menurut
narasumber (Woehid), mereka menyeberang sungai karena waktu itu untuk menuju ke
Gunung Permoni belum ada jembatan yang menghubungkan. Untuk itu satu-satunya
jalan adalah menyeberang sungai tempuran tadi. Gunung Permoni ini merupakan
Tamansari Kraton Mataram di Plered dan di tempat itu dijumpai adanya beberapa
batu peninggalan dan Tamansari tersebut, batu itu diantaranya : Batu Ambon,
Batu Panah, Batu Payung, Batu Jarum Sembrani dan sebagainya. Mereka yang datang
ke sana adalah nenepi atau untuk memohon sesuatu. Kaitannya dengan setiap hari
Selasa malam Rabu - Rebo Wekasan - di bulan Sapar ini adalah banyaknya
masyarakat yang menghadap kepada Kyai Faqih untuk meminta doa kepada beliau
agar selamat dari malapetaka.
d) Komponen
Upacara
1.
Waktu dan Tempat Upacara
Upacara
Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan di Desa Wonokromo ini diadakan setahun sekali
pada hari Selasa malam Rabu di minggu terakhir bulan Sapar. Dipilihnya hari
tersebut dikaitkan dengan pertemuannya Sultan Agung dan Kyai Faqih pada hari
itu dan bulannya Sapar minggu yang terakhir (KR, 1983).
Dulu
upacara ini berada di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong. Sedang
keramaiannya atau pasar malam berada di dekat tempuran tersebut sampai ke depan
masjid. Namun lama-kelamaan kegiatan itu semakin rarnai, sehingga mengganggu
kegiatan ibadah Masjid. Untuk itu atas perintah Lurah Wonokromo, maka Upacara
Rebo Wekasan, keramaian, atau pasar malamnya dipindah di depan balai desa yakni
di Lapangan Wonokromo.
2.
Penyelenggaraan Upacara
Pada jaman dahulu penyelenggara
upacara adalah masyarakat Wonokromo dan
sekitarnya tanpa membutuhkan biaya. Namun mulai tahun 1990 Upacara Rebo Wekasan
mulai dikoordinir oleh aparat desa dan sebagai ketua panitia adalah kadesnya.
Kemudian seksi-seksi dibantu oleh aparat dan tokoh masyarakat.
Mengenai
pembiayaan dulunya hanya pribadi-pribadi dan paling tidak hanya untuk modal
jualan lemper dan membeli bunga tabur. Namun setelah upacara ini dikelola
pemerintah desa, maka biaya penyelenggaraan diperoleb dari hasil sewa tempat
untuk berbagai stand pada acara pasar malam. Disamping itu juga ada tambahan
dana dari Dinas Pariwisata dan swadaya masyarakat.
e) Peralatan
Sesaji dan Makna yang Terkandung Dalam Upacara Tersebut
Pada
jaman dahulu peralatan yang digunakan untuk upacara cukup sederhana terutama
bagi yang mengambil air ya cukup membawa botol atau kaleng saja. Sedangkan
untuk sesajinya berupa bunga. Namun setelah dikelola oleh perangkat desa, maka
peralatan yang digunakan bermacam-macam dan umumnya dibuat dari bambu, misalnya
untuk tempat menggotong lemper, tempat membawa gunungan, dan sebagainya. Adapun
makna yang terkandung dalam lemper tersebut untuk mengingatkan kepada
masyarakat bahwa Sultan Agung itu penggemar makan lemper.
B. Jalannya/Prosesi
Upacara
Dalam
menyambut Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan di Desa Wonokromo, Kecamatan
Plered, biasanya seminggu sebelum puncak acara telah terdapat stan-stan
permainan seperti ombak banyu, trem, dremolem, dan sebagainya. Kemudian ada
pasar malam yang bentuknya seperti sekaten, yakni ada yang berjualan pakaian,
makanan, mainan dan sebagainya.
Tapi
yang jelas dalam berjualan makanan tersebut tentu dijumpai orang yang berjualan
lemper. Pada tahun 1990 tradisi Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan sudah
dikoordinir oleh panitia.
Pada
waktu itu sebagai puncak acara adalah kirab lemper raksasa, yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diamter 45 cm. Lemper tersebut kemudian diarak dari Masjid Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo sejauh
2 km. Dalam kirab lemper ini diawali dengan barisan prajurit Kraton Ngayogyakarta,
menyusul kemudian lemper raksasa tiruan yang diusung oleh empat orang, dan
diikuti lemper yang berukuran sepanjang 40 cm dan 15 cm. Selanjutnya yang di
belakangnya lagi adalah beberapa kelompok kesenian setempat seperti
Shalawatan, Kubrosiswo, Rodat, dan sebagainya yang ikut memeriahkan
Upacara Rebo Wekasan.
Selama
lemper raksasa diusung dari depan masjid dan dikirabkan, maka di kantor balai
desa sudah banyak para tamu undangan yang menunggu kehadiran lemper raksasa di
balai desa, lemper tersebut langsung ditempatkan di panggung yang telah
disediakan. Beberapa saat kemudian upacara dibuka oleh ketua panitia,
dilanjutkan dengan sambutan-sambutan para pejabat di lingkungan pemerintahan
yang diundang seperti camat, kepala dinas, dan sebagainya.
Setelah
itu baru diadakan pemotongan lemper raksasa oleh pejabat tinggi yang merupakan
puncak dari acara tersebut. lemper tadi lalu dibagi-bagikan kepada tamu
undangan yang hadir dan pengunjung, dan kekurangannya ditambah dengan lemper
biasa yang sengaja dibuat oleh panitia guna menutup kekurangan. Demikian pula
Gunungan yang dibawa tadi juga dipotong dan dibagi-bagikan pada pengunjung
bahkan untuk rebutan seperti yang terjadi dalam acara sekaten di Kraton
Ngayogyakarta itu. Setelah itu Upacara Rebo Wekasan selesai, hanya saja untuk
stan-stan seperti ombak banyu, para penjual dan sebagainya itu tetap masih ada
kira-kira seminggu lamanya.
Kaitannya
dengan orang mandi atau menyeberang tempuran yang ada istilah cincing tidak ada
lagi, karena kali tersebut sekarang ini kedalamannya lebih dan satu meter,
sebab di sekitamya dibuat bendungan untuk mengaliri sawah. Acara tersebut yang
jelas bagi masyarakat Wonokromo adalah pengajian akbar atau mujahadah akbar
yang dilaksanakan pada hari Selasa malam Rabu di bulan Sapar jatuh pada malam
Rabu terakhir.
Untuk mengetahui sejarah Rabu Pungkasan (Wekasan) versi yang lain silahkan lihat di sini.
Versi PDF silahkan klik di sini.
Versi PDF silahkan klik di sini.
[Dari berbagai sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar