KH
Muhammad Munawwir lahir di Kauman, Yogyakarta, dari pasangan KH. Abdullah Rosyad
dan Khodijah. KH. M. Munawwir beristrikan empat orang, yaitu Ny. R.A. Mursyidah
dari Kraton, Ny. Hj. Suistiyah dari Wates, Ny. Salimah dari Wonokromo, dan Ny.
Rumiyah dari Jombang. Ketika istri pertamanya meninggal dunia, KH M. Munawwir
menikahi Ny. Khodijah dari Kanggotan, Gondowulung.
Sejak kanak-kanak, KH M. Munawwir belajar Al-Qur'an di
Bangkalan, sebuah pesantren yang diasuh oleh KH Maksum. Selain belajar
Al-Qur'an, ia juga belajar ilmu-ilmu keislaman lainnya dari para kiai, seperti
KH Abdullah dari Kanggotan Bantul, KH Kholil dari Bangkalan Madura, KH Sholih
dari Darat Semarang, dan KH Abdur Rahman dari Watucongol Muntilan Magelang.
Pada tahun 1888 KH. M. Munawwir meneruskan belajar ke Mekkah dan menetap di sana
selama 16 tahun. Dari Mekkah KH M. Munawwir melanjutkan belajar ke Medinah.
Setelah 21 tahun bermukim di kedua kota suci itu, dan memperoleh ijazah
mengajar tahfiz Al-Qur’an, beliau kembali ke
Yogyakarta
pada tahun 1911. Selama di Mekah dan Medinah ia memperdalam
Al-Qur'an, tafsir, dan qiraat sab‘ah dari beberapa guru, antara lain Syekh
Abdullah Sanqara, Syekh Syarbini, Syekh Muqri, Syekh Ibrahim Huzaimi, Syekh
Manshur, Syekh Abd. Syakur, dan Syekh Musthafa. Hafalan Al-Qur'an yang ia
kuasai saat belajar di kedua kota suci tersebut lengkap dengan qiraat
sab‘ahnya, sehingga KH M. Munawwir terkenal dengan alim Jawa pertama yang
berhasil menguasai qiraat
sab‘ah.
KH M.
Munawwir berguru qiraat sab‘ah kepada Syekh Yusuf Hajar. Sanad tahfiznya,
dengan qiraat Imam ‘Asim menurut riwayat Imam Hafs, mengambil dari Syekh ‘Abdul
Karim ‘Umar al-Badri, dari Syekh Isma‘il Basyatin, dari Syekh Ahmad ar-Rasyidi,
dari Syekh Mustafa ‘Adurrahman al-Azmiri, dari Syekh Hijazi, dari Syekh ‘Ali
bin Sulaiman al-Mansuri, dari Syekh Sultan al-Mizahi, dari Syekh Saifuddin
‘Ataillah al-Fadali, dari Syekh Sahazah al-Yamani, dari Syekh Nasiruddin
at-Tablawi, dari Syekh Abu Yahya Zakariyya al-Ansari, dari Imam Ahmad
al-Asyuti, dari Imam Muhammad bin Muhammad al-Jazari, dari Imam Muhammad bin
‘Abdul Khaliq al-Misri, dari Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Syuja‘, dari Imam Abu
al-Qasim asy-Syatibi, dari Imam ‘Ali bin Muhammad bin Huzail, dari Imam
Sulaiman bin Najah al-Andalusi, dari Imam Abu ‘Amr ‘Usman ad-Dani, dari Imam
Tahir bin Galbun, dari Imam Ahmad bin Sahl al-Asynani, dari Imam ‘Ubaid bin
as-Sabah, dari Imam Hafs bin Sulaiman, dari Imam ‘Asim bin Abi an-Najud, dari
Imam ‘Abdurrahman as-Sulami, dari Zaid bin Sabit, Ubay bin Ka‘b, ‘Abdullah bin
Mas‘ud, ‘Ali bin Abi Talib dan ‘Usman bin ‘Affan, yang mengambil langsung dari
Rasulullah.
Setelah
KH M. Munawwir kembali ke Yogyakarta, beliau mendirikan majelis pengajian, dan
merintis berdirinya Pondok Pesantren Krapyak. Selama kurang lebih 33 tahun
menjadi pengasuh PP. Krapyak, KH M. Munawwir mewariskan ilmu kepada para
muridnya, dan kelak tidak sedikit di antara mereka yang mendirikan pondok
pesantren Al-Qur'an. Di antara para muridnya itu adalah KH Arwani Amin Kudus, KH
Badawi Kaliwungu Semarang, K. Zuhdi Nganjuk Kertosono, KH Umar Mangkuyudan
Solo, KH Umar Kempek Cirebon, KH Nor/Munawwir Tegalarum Kertosono, KH Muntaha
Kalibeber Wonosobo, KH Murtadlo Buntet Cirebon, KH M. Ma‘shum Gedongan Cirebon,
KH Abu Amar Kroya, KH Suhaimi Benda Bumiayu, KH Syatibi Kiangkong Kutoarjo, KH
Anshor Pepedang Bumiayu, KH Hasbullah Wonokromo Yogyakarta, dan KH Muhyiddin
Jejeran Yogyakarta.
KH M.
Munawwir di kenal sebagai seorang yang istiqamah dalam beribadah. Salat wajib
dan sunnah rutin dikerjakannya. Wirid Al-Qur'an selalu beliau khatamkan sepekan
sekali, biasanya setiap hari Kamis. Sifat muru'ah tercermin
dari kerapiannya berpakaian. Beliau terus-menerus mengenakan tutup kepala
(kopiah atau serban), berpakaian sederhana, dan terkadang mengenakan pakaian
dinas Kraton Yogyakarta saat menghadiri acara resmi kraton. KH Munawwir adalah
sosok yang memiliki perhatian besar terhadap keluarga dan para santrinya.
Wejangan-wejangan yang beliau sampaikan dalam pengajian secara apik diterapkan
dalam pergaulan sehari-hari. Beliau tidak membedakan tamu yang mendatanginya,
semua di sambut dengan baik. Bahkan, beliau sesekali bersilaturahmi kepada
keluarga santrinya, begitu pula kepada tetangganya. KH Munawwir sakit selama 16
hari sebelum meninggal dunia pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1360 H (6 Juli 1942)
di rumahnya, di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. KH. M. Munawwir dikenal
sebagai pembuka tradisi tahfidz, khususnya, di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar