Giriloyo adalah sebuah
dusun di bawah kaki perbukitan Imogiri. Masyarakat sekitar mengenal
dengan nama Pajimatan, suatu bukit yang terkenal di daerah kawasan selatan
Yogyakarta karena disanalah raja-raja Kerajaan Mataram Islam dimakamkan.
Daerah Giriloyo ini
sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
(jaraknya hanya sekitar 15 km). Namun karena daerah ini terpencil dan berada di
kaki bukit. Sasana khas pedesaan yang sepi dan sunyi namun penuh dengan
kebersamaan dan kedamaian sangat mewarnai daerah tersebut.
Suasana sepi yang
mewarnai Giriloyo itu pada pertengahan abad ke-18 M sedikit demi sedikit
berubah dengan munculnya kelompok pengajian yang diasuh oleh KH. Romli, seorang
ulama yang menjadi Mursyid Tarekat Syathariyah. Seluruh murid-muridnya diberi
ijazah tarekat tersebut dengan maksud agar mereka memiliki amalan-amalan harian
yang pada akhirnya bisa lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.
Keseriusan dan ketekunan
dalam pengelolaan pengajian, membuat KH. Romli seakan melupakan
sunnah rasul
yang lain, yaitu melangsungkan pernikahan. Maka ketika dirasa jama'ah pengajian
yang dibinanya itu semakin lama semakin menunjukkan peningkatan, beliau segera
melaksanakan pernikahan dengan putri dari Kiai Ali. Dari pernikahan dengan
putri Kiai Ali ini lahir 5 orang putra yang salah satunya adalah bernama Ahmad
Marzuqi.
KH. Ahmad Marzuqi lahir
pada tahun 1901 M di desa tempat ayahnya tinggal yaitu di Giriloyo Wukirsari
Imogiri Bantul sebagai putra bungsu. Kiai Romli sangat berkeinginan kelak si
bungsu apabila sudah besar dapat menggantikan perjuangan yang telah dirintisnya,
mendidik orang-orang untuk lebih dekat pada Allah. Untuk mewujudkan
cita-citanya tersebut, sangat wajar apabila KH Marzuqi ketika baru berumur 4
tahun sudah dididik dengan konsentrasi penuh.
Pada tahun 1905 oleh
Kiai Romli, Ahmad Marzuqi di-pondok-kan di Pondok Pesantren Kanggotan Pleret
Bantul di bawah bimbingan KH. Zaini. Karena masih kecil, maka pada waktu itu
beliau hanya diajari kitab-kitab ubudiyah seperti Safinatun
Najah, Fathul Qorib dan lain-lain. Di pondok Kanggotan ini beliau
belajar sampai tahun 1910 M.
Setelah lima tahun
belajar di Kanggotan, Ahmad Marzuqi kemudian pindah pondok. Pondok yang dituju
kali ini adalah Pondok Pesantren Termas yang berada di Pacitan Jawa Timur. pada
saat itu pondok Termas berada di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyati, beliau
belajar berbagai ilmu agama, sepertisyara’, tasawuf, dan lain-lain.
Di pondok ini beliau belajar selama 4 tahun, dari tahun 1910 sampai tahun 1914
M.
Ahmad Marzuki
melanjutkan ngangsu kaweruh di ponok pesantren
Watucongol Muntilan Magelang, tahun 1915 sampai tahun 1918. Kehausan Ahmad
Marzuki dengan ilmu-ilmu keislmaan terobati di bawah bimbingan KH. Dimyati.
Sepulang dari
Watucongol, Ahmad Marzuqi kemudian meneruskan di Pondok Pesantren Somolangu
Kebumen Jawa Tengah. Dibawah bimbingan KH. Abdurrauf, beliau mendapat
kepercayaan untuk mengajar santri (badal: sebagai pengganti kyai)
apabila kiai sedang berhalangan atau sakit. Kepercayaan itu diemban dengan
tekun dan ikhlas sehingga tidak heran jika beliau semakin lama semakin
menguasai ilmu-ilmu yang sudah dipelajari di pondok-pondok yang terdahulu. Di
Somolangu ini berlangsung antara tahun 1919 sampai tahun 1922.
Tahun 1922 sepulang dari
Pondok Somolangu sampai tahun 1925, beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok
Pesantren Lirap Kebumen Jawa Tengah. Walaupun sudah mahir membaca kitab, namun
beliau tidak jemu untuk lebih mendalami kitab-kitab yang telah dikajinya
terdahulu.
Hanya dua tahun lebih
sedikit Ahmad Marzuqi menempat di Lirap Kebumen, pada tahun 1926 sampai tahun
1927 beliau pindah ke Pondok Pesantren Jamsaren yang ada di Solo Jawa
Tengah. Pondok Jamsaren pada saat itu berada di bawah bimbingan KH. Idris.
Sepulang dari Pondok Jamsaren ini beliau menunaikan ibadah haji untuk yang
pertama kali dalam hidupnya.
Pada tahun 1927 (selepas
menunaikan ibadah haji) sampai tahun 1931 beliau melanjutkan pendidikannya di
Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dibawah bimbingan KH. Munawwir ini beliau
mewujudkan cita-citanya yang sudah lama terpendam ketika masih mengaji di
Watucongol dahulu, yaitu keinginannya untuk menghafal Al-Qur’an 30 juz.
Keinginan itu menjadi
kenyataan bahkan untuk melanggengkannya beliau baca ayat-ayat suci itu sampai khatam yaitu
pada bulan Ramadlan saat sholat tarwih. Diceritakan, bahwa selama bulan
ramadlan apabila badannya sehat, beliau khatamkan dalam satu bulan
itu tiga kali khataman. Sepuluh hari pertamakhatam untuk
yang pertama, sepuluh hari kedua digunakan untuk mengkhatamkan bacaannya
yang kedua dan sepuluh hari ketiga untuk yang ketiga kalinya.
KH. Ahmad Marzuqi Mulai Berda’wah
KH. Ahmad Marzuqi Mulai Berda’wah
Sepulang dari ngangsu
kaweruh di berbagai pondok pesantren, sekitar tahun 1931, KH. Ahmad
Marzuqi mulai melakukan pengajian-pengajian di berbagai tempat terutama di
desa-desa di Gunungkidul. Perjalanan untuk mencapai daerah-daerah di
Gunungkidul yang melewati hutan belantara memakan waktu berhari-hari itu beliau
lakukan dengan berjalan kaki.
Dalam melakukan Dakwah
di Gunungkidul, KH. Ahmad Marzuqi atau Mbah Marzuqi bisa disebut sebagai
pembuka jalan bagi keberadaan Islam di daerah tersebut. Ketika beliau membuka
jamaah pengajian yang baru di desa-desa, beliau islamkan terlebih dahulu
orang-orang yang akan ikut dalam pengajian tersebut. Sehingga ketika semakin
hari semakin bertambah jumlah jamaahnya berarti semakin banyak pula orang Islam
yang ada di desa itu.
Perjalanan dalam
berdakwah itu bukan berarti tanpa mendapatkan rintangan. Rintangan itu datang
dalam perjalanan maupun oleh orang yang tidak suka dengan dakwah yang beliau
lakukan. Diceritakan, ketika dalam suatu perjalanan menuju salah satu desa di
daerah Gunungkidul harus melewati sebuah sungai yang lebar dan dalam. Seseorang
harus berenang untuk sampai di seberang karena tidak adagetek (perahu
dari bambu). KH. Habib yang pada waktu itu diajak untuk menemani,
tidak berani turun ke sungai karena melihat ada seekor ular besar sedang
menunggu. Melihat ular di sungai yang siap untuk menyerangnya KH. Habib berteriak
“Pak, ada ular !” Teriakannya tidak dijawab oleh Mbah Marzuqi. Beliau hanya
menusukkan jari manisnya di pinggang KH. Habib. Seketika itu juga KH. Habib
sudah berada di seberang sungai.
Untuk mempersatukan
jama’ah pengajian, Mbah Marzuqi mendirikan masjid atau musholla di desa-desa.
Hal ini dimaksudkan agar para jamaah bisa berkumpul dalam satu tempat dalam
melaksanakan kegiatan. Pendirian masjid dan musholla ini juga dimaksudkan agar
masyarakat di desa itu apabila sholat tidak dilakukan sendiri-sendiri di rumah,
tetapi dilakukan di masjid atau musholla dengan berjama'ah.
Untuk melengkapi
pembangunan masjid, beliau mendirikan sekolah-sekolah formal yang tentunya hal
ini bertujuan agar generasi mudanya bisa mendapatkan pendidikan formal.
Tercatat ada 130 buah untuk tingkat taman kanak-kanak, 53 buah untuk tingkat
Madrasah Ibtidaiyah, 12 sekolah untuk tingkat MTs dan SMP, 8 sekolah untuk
tingkat MA dan SMU.
Aktivitas dakwah ini
masih terus berlangsung ketika beliau dipercaya memimpin pesantren yang didirikan
oleh sang ayah, KH. Romli, pada tahun 1935. Pondok itu dipimpin oleh
beliau berlangsung sampai dengan tahun 1955. Bahkan selama memimpin pondok
pesantren tersebut, beliau mendapatkan sambutan yang semakin hangat dari
masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari terus berkembangnya pondok tersebut yang
semakin hari semakin banyak orang yang ikut mengaji.
Selepas Kemerdekaan RI
1945, bumi nusantara ternyata masih disenangi oleh Belanda sehingga wajar
apabila pada bulan-bulan setelah Agustus itu Belanda masih banyak yang
berseliweran di Indonesia. Orang-orang pribumi yang melihat tingkah Belanda itu
merasa tidak senang sehingga di banyak tempat dikumpulkan para pemuda untuk
digembleng menjadi prajurit yang tangguh. Mereka diberi ijazah dan
amalan serta olah-kanuragan. Salah satu tempat yang digunakan
sebagai markas itu adalah pesantren yang dipimpin oleh KH. Ahmad Marzuqi.
Mbah Marzuqi yang
semenjak kecil suka dengan kehidupan sederhana, suka menolong orang lain dan
tidak suka hidup mewah, mempunyai pandangan hidup bahwa seluruh jiwa dan
raganya semata-mata dicurahkan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Prinsip hidup ini beliau wujudkan dengan melakukan dakwah dari satu
desa ke desa yang lainnya tanpa pernah mengharapkan imbalan. Dakwah ini beliau
lakukan dengan ikhlas dan semata-mata hanya untuk mengharapkan ridla dari
Allah.
Kiai memang dalam
berdakwah tidak pernah mengharapkan imbalan bahkan beliau serahkan seluruh
harta bendanya pada mereka yang membutuhkan. Diceritakan, bahwa beliau
mempunyai sawah yang luasnya mencapai 7 hektar dan sapi yang jumlahnya mencapai
sekitar 150 ekor. Harta miliknya itu seluruhnya beliau serahkan pada masyarakat
yang kurang mampu dengan sistem bagi hasil (tidak ada informasi yang
menceritakan berapa bagian untuk beliau dan orang yang diserahi). Pemberian
dengan sistem tersebut semata-mata hanya untuk meringankan beban yang ada pada
masyarakat.
Pertolongan yang beliau
berikan disamping secara materi juga dengan memberikan pengobatan kepada siapa
saja yang memerlukannya. Bahkan dengan memberikan pengobatan ini, aktivitas dan
pengikut dalam jama'ahnya semakin besar sehingga sangat memudahkan beliau
apabila berkeinginan membuka daerah binaan yang baru.
Ilmu ketabiban ini
beliau dapatkan disamping dari ayahnya, KH. Romli juga beliau dapatkan dari
semenjak beliau mondok di pesantren-pesantren. Menurut KH. Habib Marzuqi, salah
seorang putranya bahwa ilmu ketabiban itu beliau peroleh dari KH. Dalhar
Watucongol, KH. Ma’ruf, KH. Kholil Bangkalan, KH. Dimyati Termas, KH. Dimyati
Kebumen dan KH. Abdurrahman. Pemberian pertolongan ini juga beliau imaksudkan
sebagai sarana berda’wah.
Membina Rumah Tangga
Membina Rumah Tangga
Sebagai putra bungsu
dari lima bersaudara, KH. Ahmad Marzuqi mendapatkan tongkat estafet dari KH.
Romli untuk meneruskan perjuangannya. Untuk membantu perjuangannya KH. Ahmad
Marzuqi melangsungkan pernikahan dengan putri dari KH. Arifin yaitu Ny.
Dasinah. Dari pernikahan ini menurunkan dua orang putra yaitu KH. Asyhari
Marzuqi (Kotagede) dan KH. Habib Marzuqi (Wates Kulonprogo).
Setelah berpisah dengan
Ny. Dasinah, pada tahun 1949 KH. Ahmad Marzuqi melangsungkan pernikahan untuk
yang kedua kalinya yaitu dengan putri KH. Abdullah, Ny. Zuhroh. Dari pernikahan
ini menurunkan dua putra yaitu KH. Masyhudi dan KH. Ahmad Zabidi dan seorang
putri yaitu Hj. Siti Hannah.
Akhir Hayatnya
KH. Ahmad Marzuqi
sewaktu hidupnya pernah melarang tentang 3 (tiga) hal. Tiga hal itu
adalahpertama, beliau melarang dan mengharamkan adanya kebijakan
pemerintah mengenai diberlakukannya Keluarga Berencana (KB) bagi masyarakat
Indonesia. Kedua, beliau melarang dan mengharamkan adanya
praktek dunia perbankan. Ketiga, beliau melarang keras adanya
anggapan bahwa semua agama di Indonesia adalah baik dan benar.
Larangan ini sekitar
awal tahun 80-an beliau tanamkan kembali pada setiap tamu yang berkunjung ke
rumahnya di Giriloyo. Tidak peduli apakah tamu itu laki-laki atau perempuan,
kecil atau besar, pegawai biasa maupun pejabat. Semua dilarang untuk
melaksanakan tiga hal tersebut diatas. Begitulah semua itu berlangsung sampai
pada tahun 1991 disaat beliau akan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Innalillahi wainna
ilaihi rajiuun. Tanggal 9 Jumadil Akhir
1411 H atau tanggal 14 Desember 1991 M pada hari Sabtu malam Ahad adalah hari
beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Seluruh putranya dan masyarakat
sekitar sudah berkumpul. Disaat itulah beliau berwasiat kepada putra-putra dan
seluruh kaum muslimin untuk membaca do’a Nekto Dinulu. Do’a
itu bacaannya adalah sebagai berikut:
Allahumma Nekto Dinulu ahub-ahub ing Allah
Laa ilaaha illa Allah Muhammad rasulullah shalla Allah alaihi wasallam
Allahumma Roh amadep ing Nurullah
Somad-somad kelawan roh idlofi
Jisim rupaku amadep ing cahaya
Ning roh angadep uripku ing cahyane Allah
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim Ya Ghaffar Ya Aziz
Ya Quddus Ya ‘Alim Ya Karim Ya Arhamarrahimin.
Laa ilaaha illa Allah Muhammad rasulullah shalla Allah alaihi wasallam
Allahumma Roh amadep ing Nurullah
Somad-somad kelawan roh idlofi
Jisim rupaku amadep ing cahaya
Ning roh angadep uripku ing cahyane Allah
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim Ya Ghaffar Ya Aziz
Ya Quddus Ya ‘Alim Ya Karim Ya Arhamarrahimin.
Pagi harinya, ribuan orang datang dari berbagai daerah untuk
memberikan penghormatan yang terakhir (melayat). Tidak sedikit dari para
pelayat itu mengetahui meninggalnya KH. Ahmad Marzuqi lewat mimpi.
Diceritakan, pada malam hari (malam Ahad) seorang haji di daerah
Prembun Kebumen bermimpi kedatangan Mbah Marzuqi. Dalam mimpi itu Mbah Marzuqi
menyuruhnya untuk pergi ke Giriloyo dan jangan lupa membawa bakmi. Hari Ahad
pagi, sambil membawakan bakmi pesanan Mbah Marzuqi pak haji dari kebumen itu
meluncur menuju Giriloyo. Sebelum memasuki Giriloyo, haji itu singgah terlebih
dahulu di masjid Pondok Ar-Ramli Wukirsari karena dilihatnya ada ribuan orang
berkumpul. Kemudian pak haji dari kebumen itu bertanya “Ada apa kok suasananya
ramai sekali?” Orang yang ditanya oleh pak haji itu menjawab bahwa Mbah Marzuqi
meninggal. Pak haji tidak percaya karena tadi malam beliau bermimpi bertemu
Mbah Marzuqi dan disuruh ke Giriloyo. Namun setelah mengetahui peristiwa yang
sebenarnya terjadi, pak haji dari Kebumen itupun lemas.
Begitulah banyak dari para hadirin yang datang karena mendapatkan
mimpi “disuruh ke Giriloyo oleh Mbah Marzuqi”. Semua masyarakat yang
ditinggalkan merasa kehilangan dengan kepergiannya. Namun apa mau dikata, kita
tidak bisa melawan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Begitulah KH. Ahmad
Marzuqi telah mendahului kita dengan menanamkan pijakan yang mantap dan kokoh
pada masyarakat yang ditinggalkan. Semoga amal baik beliau diterima disisi-Nya
dan kita yang ditinggalkan bisa meneruskan apa yang menjadi cita-citanya. Amin.
(sumber : www.nurulummah.com)
Sabtu, 12 Mei 2011 Haul ke-21 KH. Marzuqi Romly...
BalasHapusMasyaAllah...jama'ah pengajiannya sangat banyak...!!